Saya
sebagai Mahasiswa Sejarah jelas tidak bisa melepaskan ketertarikan saya dengan
dunia sinema. Karna selain buku, sinema mampu menjadi medium yang tepat untuk
mencurahkan kegelisahan manusia yang kemudian disajikan secara tiga dimensi
dengan gambar dan suara. Semua itu seolah mampu menyampaikan gagasan-gagasan
dari sang tokoh dengan lebih gamblang.
Film-film
Sejarah jelas tidak bisa disamakan ratingnya dengan film-film percintaan
kawakan ataupun humor. Di Indonesia kita punya banyak sutradara-sutradara mumpuni
seperti Mas Hanung Bramantyo, Riri Riza dan Mira lesmana, Garin Nugroho, dan
masih banyak lagi mungkin. Sayangnya, netizen kita masih minim memiliki rasa
ketertarikan terhadap film nasional, apalagi bila filmnya bertemakan sejarah.
Mindset ini yang perlu diubah. Padahal film-film kita sedang mengalami kemajuan
yang cukup signifikan.
Bukan
bermaksut memojokkan film humor dan percintaan Indonesia, tapi cobalah
apresiasi juga film-film bertemakan sejarah. Sebut saja seperti Gie yang
diperankan oleh Nicholas Saputra tahun 2001 tersebut jelas menuai banyak pujian
maupun kritikan. Lalu film Soekarno yang diperankan Aryo Bayu. Film HOS Tjokroaminoto,
Soegija, Habibie dan Ainun, Athirah, Istirahatlah kata-kata( biography wiji
tukul), lalu yang masih anget adalah Kartini yang diperankan oleh mba Dian
Sastro yang ditayangkan sejak 20 April lalu dalam rangka menyambut hari
Kartini.
Dalam
film garapan Hanung Bramantyo tersebut, Kartini digambarkan hidup di abad ke-19
saat negeri kita masih dibawah penjajahan Belanda. Akses pendidikan masih
sangat terbatas dan hanya bagi mereka yang keturunan petinggi daerah yang mampu
mengenyam pendidikan. Adat kebudayaan masih sangat kental dengan kebudayaan patriarkis-nya. Sebagai anak seorang bupati,
sudah seharusnya Kartini melakukan tradisi pingit
(berkurung di dalam rumah atau kamar) kegiatan ini terhitung sejak masa
menstruasi pertamanya sampai nanti akhirnya datang seseorang untuk menikahinya.
Bisa kalian bayangkan? Abad 19 Hanya tinggal di rumah, tidak ada gadget, tidak
ada bioskop, tidak ada mall, sama sekali belum ada peralatan canggih seperti
zaman sekarang, dan yang jelas tidak ada itu yang namanya youtube, apalagi
wifi. Kartini merasa tak berdaya. Dalam film dimunculkan sosok kakak Kartini
yaitu Raden Mas Panji Sosrokartono. Kakandanya ini berhasil melanjutkan
pendidikannya sampai ke Negeri Belanda. Sebelum Ia berangkat, ia memberikan
sebuah kunci kepada Kartini. Dia katakan, jika mau bebas datanglah ke kamarnya.
Disana ada pintu besar yang akan membawamu kepada kebebasan. Dan yang dimaksut
Sosrokartono tersebut adalah sebuah lemari yang penuh berisi buku-buku. Dari
situ Kartini mulai mendalami dunia literasi. Ada satu kalimat yang dilontarkan
sang kakak :
“Tubuh boleh terpasung tapi jiwa harus terbang
bebas”
Dia
seolah seperti benar-benar menyambangi Negeri Belanda. Semangatnya itu ia
tularkan pula pada adik-adiknya yaitu Kardinah dan Rukmini. Mereka bagaikan
daun semanggi yang selalu kompak. Sampai mereka sadari bahwaa kedudukan mereka
sebagai wanita begitu timpang jika dibandingkan dengan laki-laki. Mereka hidup
hanya untuk dinikahi setelah itupun masih mungkin akan dimadu. Mereka juga
terkungkung dan begitu dibatasi.
Karna
rajin membaca, Kartini mampu berpikir terbuka. Karna berpikiran terbuka, dia
menjadi lebih kritis dari orang-orang disekitarnya. Ketika semua orang terlalu
patuh dan terpatok pada sebuah aturan tanpa memikirkan relevansinya, Kartini
mau dan berusaha untuk memulai perubahan. Ada satu adegan dimana Ayahnya
mengatakan :
“Semuanya
akan berubah. Masalahnya adalah, siapa yang berani untuk memulai.”
Dan
Kartini berani untuk memulainya. Dia membagi pengetahuan dengan mendidik
orang-orang dari kalangan rendah, dia rajin membangun relasi dengan sahabat
penanya dari Negeri Belanda. Karna keinginannya untuk menyamakan hak seorang
wanita dan pria, kita mulai mengenalnya sebagai tokoh emansipasi wanita
Indonesia. Tokoh feminisme pertama di Indonesia.
Over
all film ini patut diacungi jempol karna menurut saya Mas Hanung berhasil
menyampaikan makna filmnya dengan baik, dan tokoh-tokohnya diperankan oleh
aktor dan aktris yang mumpuni pula. Saya yakin, penonton pasti mampu terbawa
suasana dan merasakan emosinya saat menonton filmnya di Bioskop. Suasana saat
menikah dengan Bupati rembang dan melakukan sungkem dengan sang ibu cukup
merubah suasana menjadi melow dramatic, sayang ceritanya hanya digantung sampai
disitu saja.
Ps
: Untuk semua wanita Indonesia,
Jangan
mau kalah dengan mereka laki-laki. Dunia Literasi itu penting. Cerita Kartini
ini buktinya. Ingat kata Soe Hok Gie “ Perempuan akan selalu dibawah laki-laki
bila yang diurusi hanya bedak dan lipstik.” Dan untuk kalian laki-laki diluar
sana, bukankah seorang wanita yang patut dicemburui adalah dia yang mampu
bertindak sebagai : Metaphor-maker, Decision-maker, dan Solution-maker? Saya
rasa wanita kutu buku lebih sedikit berada di atas posisi wanita yang hanya
mengurusi bedak dan lipstik?